Senin, 15 Maret 2010

Berjuang Untuk Menang


Abu Mus’ab As Suri dalam refleksinya terhadap 40 tahun gerakan jihad (1963-2003) memberikan sebuah pertannyaan besar,
‘Apakah kita harus mengakui kekalahan dan menyerah kepada kenyataan?. ‘Kita telah memenangkan banyak pertempuran, tetapi kita sendiri kalah perang di semua medan,’ ungkapnya.


Menurutnya, hasil kerja aliran jihadi dan organisasinya mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan, kekalahan dalam konfrontasi dan berbagai kerugian besar. Kegagalan, menurutnya tidak terwujudnya tujuan dalam menegakkan kebenaran. Sedangkan kekalahan adalah menutup mata terhadap kegagalan usaha dalam menegakkan kebenaran.

Karena itu, kemenangan menurutnya ada dua level. Pertama; terwujudnya tujuan dalam menegakkan kebenaran. Kedua; kemenangan batin dan esensial yaitu kegigihan dan terus melanjutkan usaha untuk menegakkan kebenaran, serta ketekunan usaha ke arah tersebut sesuai takdir Allah sehingga Allah memberikan kemenangan lahir yaitu dengan taufik-Nya ke jalan ikhlas dan benar. Ikhlas hatinya semata-mata karena Allah dan benar dalam manhajnya serta ada taufik-Nya dalam memilih dan menerapkan sarana.
Ungkapan Abu Mus’ab As Suri tersebut memberikan ruang untuk selalu mengadakan evaluasi, menata kembali, melihat kendala dan faktor-faktor kelemahan serta memformulasikan strategi yang matang untuk menghadapi musuh. Jika tidak, perjuangan hanyalah ulangan sejarah yang mengulang kegagalan demi kegagalan.

Menang adalah sebuah pilihan. karena itu, kematian dalam berjuang bukan tujuan. Syahid adalah fadhilah yang diberikan Allah atas keutamaan yang dimilikinya. kekalahan tidak dapat ditutup dengan ungkapan ‘qadarullah wa ma sya’a fa’ala’ -Allah telah menentukan dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi-. ‘Kekalahan, kelemahan, kegagalan serta keterbelakangan tidak dapat dijustifikasi dengan dalil tersebut”. Ungkap Abu Mus’ab As Suri. karena itu perlu adanya prinsip evaluasi, baik secara internal maupun eksternal. Prinsip rasionalitas juga diperlukan dalam perjuangan, rasio untuk menang baik secara imani maupun materi.

Secara imani mutlak untuk menghadirkan pertolongan Allah. Sementara secara materi menghajatkan perhitungan yang cermat, teliti dan adanya strategi global untuk mengahadapi musuh-musuhnya. Tidak larut dalam irama musuh yang memecah belah dan adu domba. Pilihan-pilihan amal dengan perhitungan yang matang, bukan sekedar semangat. Keinginan berkorban juga harus dibarengi dengan strategi meraih kemenangan. Jika tidak, sama halnya berjuang untuk kalah.

Dr Fathi Yakan dalam bukunya al mutasaqithuna ‘ala thoriqi dakwah menguraikan sebab-sebab seseorang berguguran dalam medan perjuangan. Menurutnya ada 3 faktor yang menyebabkan seseorang berjatuhan. Pertama; faktor pergerakan. Kedua; faktor personal dan ketiga; faktor; eksternal.

Faktor pergerakan diantaranya lemahnya aspek tarbiyah dan lemahnya kepemimpinan. Faktor individu seperti sikap berlebih-lebihan dan sifat individu yang tidak disiplin. Sedangkan faktor eksternal seperti adanya ujian, tekanan keluarga dan lingkungan.
Secara khusus beliau juga memaparkan sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan kekuatan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang ditetapkan syari’at. Hal ini berdasarkan pengalaman beliau melihat fenomena yang terjadi di Lebanon dimana penggunaan kekuatan hanya didasarkan sikap taqlid. Sikap ini menurutnya muncul setelah pergerakan mendapatkan ujian.

Beliau juga menjelaskan bahwa penggunaan kekuatan justru dapat menimbulkan fitnah manakala dalam beberapa kondisi. Pertama; tidak jelasnya tujuan pembentukan kekuatan. Tujuan pembentukan kekuatan menurutnya terealisasinya perubahan islami, terlaksananya perintah Allah, diterapkannya syari’at Allah dan dimulainya kehidupan islami.

Kedua; penggunaan kekuatan akan menimbulkan fitnah jika tidak memenuhi syarat-syarat penggunaan kekuatan. Menurutnya di antara syarat-syarat penggunaan kekuatan adalah memaksimalkan penggunaan sarana lain sebelum menggunakan kekuatan. Penggunaan kekuatan merupakan kebijakan pemimpin, bukan pada perseorangan atau masyarakat umum. Penggunaan kekuatan dilakukan agar tidak mengundang fitnah yang lebih besar, tidak melanggar syari’at, adanya skala prioritas dan dipersiapkan dengan matang.
Persiapan menurutnya bukanlah reaksi atas situasi dan kondisi. Apalagi hanya sekedar dibangkitkan oleh luapan emosi dan tidak rasional. Akan tetapi berdasarkan pertimbangan manhaj yang intergral dan rasional, jelas bagian-bagiannya, terang rambu-rambunya, jelas fase-fasenya, jelas sasarannya, memiliki kaidah-kaidah dan prinsip yang bersumber dari syariat Allah. Hal lain yang beliau ungkapkan agar penggunaan kekuatan tidak menimbulkan fitnah agar dilakukan dengan tidak gegabah dan reaksioner serta tidak menjerumuskan umat Islam dalam pertarungan yang tidak seimbang.

Dalan teori klasik peperangan, Sun Tzu lewat Art of Warnya pernah menyatakan: “Perang adalah persoalan yang teramat vital bagi Negara. Ia menyangkut mati hidupnya rakyat; dan mempengaruh keruntuhan atau kehidupan Negara. Karena itu harus dipelajari secara mendalam.” (Hou & Sheang, 1992) Jadi, kaidah perang sebenarnya adalah sama di sepanjang zaman, perang bukan sekedar mencari kematian, walaupun kematian dalam perang itu diapreasikan sangat tinggi.

Berkenaan dengan hal ini menarik untuk dicatat bahwa Art of War-nya Sun Tzu selanjutnya berkembang dan membentuk satu madzab khusus mengenai teorisasi perang, yang disebut sebagai paradigma perang klasik. Sehubungan dengan pelaksanaan perang Paradigma klasik berbagi asumsi sbb (Handel, 2001):

1. Karena perang melayani kepentingan politis dari negara (kelompok atau suku), perang hampir selalu memiliki sebuah tujuan rasional.
2. Walaupun perang tidak harus diletakkan sebagai pilihan pertama, perang juga bukan selalu menjadi pilihan terakhir. Dalam situasi-situasi tertentu, perang memberikan cara paling efektif dan satu-satunya untuk melindungi atau memperluas kepentingan negara atau kelompok.
3. Aspek-aspek rasional dari perang meliputi, pengukuhan tujuan-tujuan yang jelas, perhitungan biaya/manfaat harus dilakukan secara terus menerus. Idealnya, perang-perang harus dimenangkan secepat mungkin dan dengan biaya yang paling minimum.
4. Paradigma strategi klasik juga mengenali banyak faktor yang dapat membatasi rasionalitas dari kalkulasi yang dilakukan. Diantaranya, friksi, kesempatan dan ketidakpastian, hasrat atau semangat yang tidak terkontrol, inkompetensi, dan perilaku irasional dari para pemimpin atau kelompok-kelompok.
5. Aktivitas-aktivitas politik, diplomatik, ekonomi dan lain-lainnya yang dipergunakan untuk menekan musuh tidak berhenti dengan dimulainya permusuhan (perang) dan mungkin memiliki posisi sepenting perangkat militer. Capaian militeristik harus dikonsolidasi oleh perangkat politik dan diplomatik, sebab kemenangan harus dibuat dapat diterima semuanya.
6. Paradigma perang klasik berdasarkan pengamatan terhadap tabiat dan sejarah manusia yang memiliki pandangan pesimistik. Paradigma ini berasumsi bahwa perang tidak bisa disirnakan, bahwa konflik dan kekerasan adalah bagian dan kado dari hubungan antar bangsa dan kelompok.

Kita tidak perlu meletakkan perang sebagian pilihan pertama, tetapi juga bukan yang terakhir. Kita harus meletakkan secara tepat sesuai dengan kondisi ruang dan waktu di mana kita berada. Tepatlah ungkapan yang menyebutkan;
“Jika berani tanpa perhitungan, ia dapat dibunuh;
Jika ia pengecut, maka ia dapat ditawan;
Bila cepat naik pitam, ia mudah dihasut;
Bila ia gila hormat, ia mudah dihina;
Dan jika ia peng-iba, ia mudah diusik.” Wa’allahu ‘alam bish shawab.
Read More..