Jumat, 24 Juli 2009

BERHATI-HATILAH DENGAN DUNIA

أَنَا إِنْ عِشْتُ لَسْتُ أَعْدِمُ قُوْتًا
وَ إِذَا مِتُّ لَسْتُ أُحْرَمُ قَبْرًا
هِمَّتِى هِمَّةُ اْلمُلُوْكِ
وَنَفْسِي نَفْسُ حُرٌّ
تَرَ اْلمَذَلَّةَ كُفْرًا

Aku, jika aku masih hidup aku pasti akan bisa makan
Jika aku mati, pasti kebagian tempat kuburan
Semangatku semangat para raja
Jiwaku jiwa merdeka
Memandang kehinaan sebagai kekafiran


Duhai!, merdeka pribadi Imam Asy-Syafi’i. Dunia ini tidak sesempit orang memandang. Jiwanya merdeka. Tak ada ketergantungan kecuali kepada Sang Pencipta. Tak ada yang mampu menghinakan, karena dalam pandangannya rela dalam kehinaan adalah kekafiran dan kedurhakaan kepada Rabb-nya.

Cita-citanya tinggi. Semangatnya menjulang ke angkasa. Keinginan untuk hidup dalam kemuliaan dan mati dalam keridhaan.
Akhiy muslim,.. waspadalah dengan dunia. Dunia yang melalaikan dari tanggung jawab menegakkan risalah Allah. Semakin besar kecintaan kalian kepada dunia, semakin besar pula benci kalian kepada kesulitan [sekalipun kesulitan itu karena komitment kepada al-haqq] makin besar pula takut kalian akan kematian.

‘Abdullah bin Mas’ud radliyalLaahu ‘anhu mengatakan, “Bagi semua orang dunia adalah tamu, dan harta adalah pinjaman. Setiap tamu pasti akan pergi lagi dan setiap pinjaman pasti dikembalikan”.

Yahya bin Mua’dz menyatakan, “Dunia itu arak setan. Barangsiapa mabuk karenanya, niscaya tidak akan sadar sampai ia berada di antara orang-orang yang sudah mati, menyesal bersama orang-orang yang merugi”.

Abu Barah al-Aslami berkata, “Barangsiapa yang menghabiskan hari-harinya dalam ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan beruntung. Tidaklah kehidupan dunia ini kecuali kesenangan yang memperdayakan. Sebaliknya barangsiapa yang menghabiskan hari-harinya bermaksiat kepada Allah, maka ia akan menyesal pada hari yang tidak bermanfaat lagi penyesalannya”.

Para ulama menyatakan, “Jika hati telah dipenuhi kecintaan terhadap surga, maka kecillah nilai dunia dalam pandangannya”. Konsekuensinya, ia akan tabah menghadapi cobaan dan musibah dan ia tidak akan bersedih. Jika dunia terbuka untuknya, maka ia tidak terlalu bergembira, biasa saja. Sebaliknya orang yang telah dipenuhi cintanya dengan dunia, maka musibah apapun yang menimpanya menjadi musibah yang amat dahsyat. Jika hartanya hilang, ia mengganngap musibah yang besar. Ia letih dengan dunia, padahal tidak mendatangkan rezeki, kecuali yang telah di tulis Allah untuknya.
Karena itu cinta dunia menjadi pangkal kerusakan.

Pertama, karena seseorang yang mencitai dunia pasti ia akan mengagungkan, padahal Allah menganggap dunia ini remeh. Lalu bagaimana mungkin seseorang mengagungkan sesuatu, padahal di sisi Allah hal tersebut remeh?

Kedua, Allah telah melaknat, memurkai dan membenci dunia, kecuali yang ditujukan kepada-Nya. Bagaimana mungkin seorang hamba mencintai sesuatu yang telah dilaknat Allah dan dibenci-Nya?

Ketiga, orang yang cinta dunia menjadikan dunia adalah akhir dari segala kehidupan. Iapun akan mendapatkan dengan segala cara. Padahal, dunia adalah wasilah [sarana] untuk menunju kampung akherat. Duhai, betapa ruginya orang yang telah menjadikan dunia sebagai terminal akhir kehidupan. Allahpun menyatakan,

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami penuhi balasan pekerjaan-pekerjaannya di dunia dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Tetapi di akhirat tidak ada bagi mereka bagian selain neraka. Dan sia-sialah apa yang mereka perbuat di dunia dan batallah apa-apa yang mereka amalkan. [Hud: 15 – 16].
Keempat, mencintai dunia akan menghalangi orang dari aktivitas yang bermanfaat untuk kampung akherat, ia akan disibukkan oleh dunia, lalai kampung akherat. Matanya hanya tertuju kepada dunia. Pikirannya hanya selebar dunia. Hatinya dipenuhi dengan gejolak nafsu dan syahwat dunia. Tak seorangpun yang bisa memalingkannya kecuali kepada dunia. Dunia adalah perhiasannya panglima dalam hidupnya.

Kelima, Mencintai dunia menjadikan harapan terbesarnya hanya untuk dunia. Padahal Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengharapkan akherat, Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya dan menghimpung seluruh urusannya untuknya, serta dunia akan datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Adapun siapa yang mengharapkan dunia, Allah akan menjadikan kefakiran di depan matanya dan mencerai-beraikan urusannya, serta dunia tidak akan datang kepadanya kecuali yang sudahditakdirkan baginya”.

Keenam, Orang yang mencintai dunia, adalah orang-orang yang akan mendapatkan adzab yang berat. Ia akan di siksa di tiga tempat, di dunia, di barzakh [alam kubur] dan di kampung akherat. Di dunia ia akan di siksa dengan kerja keras, keletihan, kepayahan dan persaingan. Di alam barzakh ia akan disiksa dengan terpisahkan dari dunia yang telah ia kumpulkan, dan kerugian atas apa yang telah ia kerjakan. Tak ada yang mendampingi kecuali penyesalan, kesedihan, kedukaan dan kerugian yang tak pernah ada hentinya. Di akherat ia akan di adzab karena kelalaiannya dalam menunaikan tugas dari Sang Pencipta.
Ketujuh, orang yang cinta dunia sehingga lebih mengutamakannya adalah orang-orang yang bodoh, dungu dan tidak berakal. Bagaimana mungkin ia mencintai sesuatu yang fana dengan kecintaan yang paling tinggi? Bagaimana ia mencintai sesuatu yang hakekatnya akan pergi ia tinggalkan? Bagaimana mungkin seseorang mencintai sesuatu yang hakekatnya melalaikan dan merugikannya?

Akhiy muslim, dunia ibarat seorang laki-laki yang tertidur. Ia bermimpi melihat sesuatu yang disukainya dan juga yang dibencinya, kemudian ia terbangun.
Akhiy muslim, dunia mirip dengan bayang-bayang. Dikejar untuk digapai, ternyata takkan pernah sampai. Dunia bak fatamorgana. Orang yang kehausan menyangkanya air, padahal jika ia mendekatinya, ia tak mendapatkan sesuatupun kecuali semakin kehausan.
Akhiy muslim, dunia mirip seorang perempuan renta. Ia ingin menikah dan berdandan. Dipakainya seluruh perhiasan. Ditutupinya segala kekurangan. Orang yang memandang serasa senang padahal ia tertipu. Jika ia menikahinya, niscaya maharnya adalah menceraikan akherat. Camkan wahai akhiy muslim!!!

Duhai, para penyeru dunia, kehinaan yang akan kalian dapatkan. Penyesalan yang akan kalian ratapi. Tangis yang tak pernah henti. Adzab pasti menghampiri. Kelak, tak akan pernah ada senyum menghampiri. Tak pernah ada tawa menyapa. Yang ada hanya sesal, sesal dan sesal, “Alangkah baiknya jika aku dulu hanyalah tanah yang terhampar”. [Kh.]

0 komentar:

Posting Komentar